Hashim soal Paris Agreement: Kalau AS Tak Menuruti, Kenapa RI Harus Patuh?

Diposting pada
banner 336x280

Setelah Donald Trump resmi menjadi Presiden AS, Hashim menilai langkah yang diambil oleh AS tersebut membuat perjanjian itu tidak adil bagi Indonesia.

“Mungkin persoalan terbesar yang harus dihadapi adalah mengapa SEG penghasil emisi C2C masih potensial meningkat 10-20% jika tidak ada langkah-langkah preventif yang tepat,” ujar Hashim dalam acara bertajuk “ESG Sustainable Forum 2025” diikuti secara daring di Jakarta, 31 Januari.

banner 468x60

Hashim membandingkan emisi karbon antara Amerika Serikat dan Indonesia. Amerika Serikat menghasilkan sekitar 13 ton karbon per kapita per tahun. Sementara itu, Indonesia menghasilkan sekitar 3 ton karbon per kapita per tahun.

Menurut Hashim, komparasi tersebut menunjukkan bahwa polusi di AS lebih besar dibandingkan dengan Indonesia. Negara adidaya tersebut bahkan merupakan salah satu negara pencemar terbesar di dunia.


Baca juga:

  • Hashim Djojohadikusumo Menolak Bakal Tutup Semua PLTU di Indonesia pada 2040
  • Bahlil Mengatakan Penggunaan Energi Hijau untuk Rumah Tangga Seperti Subsidi
  • Hashim : Qatar dan Uni Emirat Arab Tertarik Bangun 7 Juta Rumah di Indonesia

Masalah ini tentang keadilan. Indonesia memproduksi kebutuhan listrik 3 ton, sementara Amerika 13 ton, lalu Indonesia harus mendekatkan turun ke pusat-pusat tenaga listrik, tenaga uap untuk dikurangi itu kok.

Oleh karena itu, Hashim menyatakan bahwa Indonesia saat ini sedang meneliti lebih lanjut dampak yang mungkin timbul setelah Amerika Serikat keluar dari Paris Agreement. Masa yang akan datang dalam transisi energi masih terbilang penuh spekulasi sehingga Indonesia harus merencanakan program pembangunan dengan situasi yang sangat kamakamtihan.

juga, kan?” kata Hashim.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa keputusan Amerika Serikat untuk keluar dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement memberikan tantangan bagi Indonesia untuk mengembangkan energi baru dan energi terbarukan.

Bahlil menyoroti kerugian biaya yang tinggi untuk mengembangkan energi baru terbarukan dikomparasikan dengan menggunakan energi fosil di Indonesia.

Pada saat Amerika Serikat mengundurkan diri sebagai salah satu inisiator dari Perjanjian Paris dan aliran pembiayaan untuk proyek-proyek energi terbarukan menurun, Bahlil mempertimbangkan ulang masa depan pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia.

Meskipun demikian, untuk saat ini, Bahlil menyatakan bahwa Indonesia tetap berkomitmen untuk mengembangkan energi baru dan energi terbarukan sebagai bentuk tanggung jawab sosial dalam menjaga kualitas udara.

PBB pada Selasa (28/1) mengkonfirmasikan bahwa Amerika Serikat (AS) telah secara resmi mengumumkan pensiun dari Perjanjian Iklim Paris.

Pengesahan Perjanjian Paris tentang Perubahan Iklim disetujui oleh 195 anggota Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim pada tahun 2015.

Tujuannya adalah untuk mengurangi kenaikan suhu rata-rata global hingga sangat jauh di bawah dua derajaan Celsius di atas tingkat pra-industri, dan sebaiknya mendekati 1,5 derajat Celcius.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *